Pesan


Beberapa hari lalu, saya mendapat pesan yang cukup menyedihkan dari seorang yang bisa saya panggil sahabat. “Gua gak mau lihat semua apa lu yang pikirkan, apa-apa yang lu update daily, lu toxic, meyalahkan dunia, there you go” begitu pesannya.

Saya mencoba untuk bertanya “Apakah lu merasa relate dengan semua postingan gua?” sedikit ingin mencoba memahami secara penuh emosi yang dia miliki terkait postingan media sosial saya. Lalu dia menjawab “Apa? Hahaha” (apakah ini semacam tawaan yang mengimplikasikan betapa aneh dan bodohnya pertanyaan saya?) “Kalau relate, gua senang. Kalau gak, gua gak mau tahu. Gua gak  mau tahu lu lagi mikir apa, lagi mau nyalahin apa, to be honest, Sorry” lanjut dia, yang tentu saja saya menghargai permintaan maafnya meskipun saya merasa dia tidak sepenuhnya merasa perlu menulis ‘sorry’ di akhir percapakan.

Saya menutup ponsel lalu menarik napas panjang dengan mata tertutup. Saya merasa kecewa dan marah karena salah satu dari orang yang saya anggap penting dalam lingkaran pertemanan memilih untuk tidak lagi ingin melihat saya didunia virtual, dan dari sekian banyak cara (misalnya memilih tombol ‘muted’) untuk tidak melihat postingan saya, dia memilih untuk mem-blokir dan membuka blokir hanya agar kita tidak lagi saling mengikuti. Seperti sebuah teka-teki, saya tidak sepenuhnya percaya alasan toxic apapun yang dia utarakan atas postingan-postingan saya. Alih-alih saya menaruh asumsi bahwa ada alasan utama lain dia sembunyikan. What a wild thought of mine.

Anggap saja, saya betul-betul percaya dan sepenuhnya menerima bahwa postingan saya toxic (bagi dia), maka tulisan ini saya tujukan untuk sedikit mengutarakan hal-hal yang berjibaku dalam kepala yang saya rasa perlu untuk diutarakan agar saya tenang dan damai secara internal.

Saya mengakui banyak dari pikiran-pikiran saya lebih sering mengkonsumsi kesedihan dan kemarahan atas realita-realita yang terjadi dalam kehidupan dan mengutarakannya dalam kalimat-kalimat pendek di sosial media. Siapalah saya? Orang biasa yang tidak memiliki pengikuti kecuali teman dan kolega yang pernah saya sapa sepanjang kehidupan yang saya jalani. Saya secara sadar (yang oleh karena itu) secara selektif dan hati-hati mengutarakan emosi saya untuk di ketik di sosial media, tidak mengharap apapun, kecuali melepaskan emosi melalui unggahan tulisan pendek ditujukan kepada orang-orang yang kenal dengan saya.

Saya justru menemukan urgensi untuk memposting sesuatu di sosial media ketika dalam situasi sedih. saya amat jarang membagi sesuatu dalam situasi bahagia. Rasanya, ketika bahagia, saya tidak mendapatkan impuls dari otak maupun sel-sel syaraf saya untuk membuat suatu postingan pendek. Saya sedih dan mengutarakan kesedihan melalui tulisan pendek sederhana lalu seorang yang saya anggap penting datang dengan mendakwa “lu toxic, menyalahkan dunia” hanya karena melihat tulisan saya tanpa merasa perlu bertanya secara langsung, rasanya terlalu berlebihan.

Tapi tidak masalah, saya banyak belajar dari kejadian ini. Saya kecewa dan marah mungkin karena menempatkan dia pada lingkaran yang saya anggap penting dan tidak seharusnya demikian. Saya berandai-andai, kalau saja dia adalah kolega atau sebatas teman, saya tidak akan merasa kecewa sedalam ini.

Leave a comment

Website Built with WordPress.com.

Up ↑