#Review – Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer


Gambar Gadis Pantai

Rasanya sudah lama aku rasai diri jarang menulis review; maklum, dalam satu bulan belakangan ini merasa disibukan dan dipusingkan dengan pembuatan proposal skripsi serta laporan praktikum yang musti rampung setiap minggunya. Keinginan untuk kembali mereview justru datang ketika aku kembali membaca serta mengulik tulisan-tulisan lalu. Belum lagi, telah terhitung sepuluh buku (sejak review terakhir) selesai aku baca, namun belum sempat ku buat review. Hal ini membuat hati rasanya gelisah; takut-takut lupa sebenarnya. Aku berharap libur semester nanti memiliki sedikit waktu untuk membuat reviewnya. Namun khusus tulisan ini aku ingin mereview novel karya bapak sastra paling kukagumi, yakni pak Pramoedya Ananta Toer dengan novelnya berjudul “Gadis Pantai”.

Aku selalu kagum dengan cara pak Pram menjadikan sosok wanita dengan berbagai kegetiran dan kepahitan hidupnya merupakan makhluk paling kuat dan pintar. Apalagi, dengan umur empat belas (14), umur yang barangkali keringat si bocah bau-baunya masih kencur; umur yang barangkali darah saja belum berani meluruhkan dirinya dari dinding rahim tempatnya bersarang. Kehidupan kian musti dilawan tidak kenal umur apalagi jenis kelamin. Dia dipaksa menikah bersama orang kota, priyayi, tinggal di gedung, Bendoro mereka sebut. Pernikahan yang terjadi, mebuat gadis nelayan memutar segala kehidupan delapan mungkin puluh derajat. Gadis meski hidup dalam gedung besar, namun rasanya macam dikurung. Segala mewah dipunya, tidak penting lantar rasa hidup tidak enak pegang emas dan berlian, lebih suka diri kotor-kotor lari sini-lari sana bantu ibu dan bapak; sebagai keluarga nelayan.

Tiba suatu waktu, hilanglah sebuah dompet berisi uang dalam kamar gadis pantai; pelayan setia sekaligus guru  karena baraninya menuduh kerabat muda bendoro (padahal tuduhanya benar); terpaksa harus hengkang dari  gedung tempat selama ini mengabdi; gadis pantai sendiri. “kamu akan mengerti dan pintar dengan pengalaman” begitulah kata terakhir pelayan tua sebelum mengangkat kaki mengakhiri diri menjadi pelayan. Selang beberapa lama muncul perempuan dikirim dari Demak bernama Mardinah (Janda) masih sangat muda menjadi pengganti pelayan yang terusir; datangnya nampak-nampak memunculkan petaka. Mardinah berniat mengganti gandis pantai sebagai istri bendoro.

Gadis pantai; seperti apa yang pelayan tua lalu sempat berpesan; dengan pengalaman belajar kian jadi perempuan kuat; tak sudi jika Mardinah sempat berhasil gantikan posisinya, meski terbatas mampunya dalam baca tulis, dengan sikap tetap bisa tunjukan bagaimana menghalau tabiat licik nan picik Mardinah. Singkat cerita, gadis pandai menangis sambil mengungkap betapa rindu dia akan ayah dan ibu dikampungnya; Bendoro memberi izin gadis pantai untuk menjenguk keluarganya barang sebentar; banyak oleh-oleh orang kota meski dibawa, diantar pula oleh Mardinah. Katanya suatu keharusan istri seorang bendoro pergi didampingi oleh pelayan.

Kampung yang dulu tetap sama secara pandang mata; perubahan mungkin-mungkin hanya bertambah rumah dengan riuh-riang anak-anak, juga usia orang-orang dulu pernah bertatap dan bersapa dengan gadis pantai. Namun, sangat jauh beda dengan sikap dan adat terutama cara masyarakat memberi perilaku terhadapnya. Orang-orang kini melihatnya sebagai orang kota yang berhias emas; tak berani ditatap apalagi diajak cakap. Ibu dan bapak tidak berani pula memanggil namanya. Betapa pulang tidak memberikan janji yang selalu gadis pantai bayang-bayang; memberi ramai saat merasa sepi sekian lama. Keluarga Mardinah berniat membunuh gadis pantai dengan mengirim seorang nenek bisu tukang urut (akhirnya mati dilempar ke laut; karena nyatanya dia seorang lelaki bernama Mardikum dari Demak). Mardinah, selang kematian kakanya; datang dengan pengawal menjemput gadis pantai, namun malang, harus menikah dengan lelaki penyair yang malas mencari ikan; pengawal bernasib sama dengan Mardikum.

Hampir lupa, sebelum pernikahanya dengan gadis pantai, Bendoro selalu menceraikan istri-istri muda tepat setelah melahirkan seorang anak. sepulangnya dari kampung menuju kembali ke gedung; gadis pantai hamil; lahirlah anak perempuan; nasibnya sama dengan istri-istri sebelumnya; diceraikan. Bayi yang terlahir dari rahim tidak boleh dibawa pulang sedang tak sanggup gadis pantai melawan. Gadis pantai tak  mau dibawa pulang oleh bapak, tak mau pula melihat ibu sekaligus malu takut-takut dipandang masyarakat kampung. Gadis pantai dalam setiap hari mengintip tirai jendela bendi yang berhenti tepat didepan pintu gedung bendoro; mungkin ingin memandang sedang apa bayinya; tapi sayang, hanya bisa dia lakuka selama satu bulan lamanya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Built with WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: