#Narasiku – I : Menunggu Pertanyaan Terjawab


Ilustrasi Narasiku-1
Sumber : Dokumentasi Pribadi, Rak Buku Perpustakaan Nasional RI.

Tepat satu bulan lalu, aku ucapkan puji syukur kepada Tuhan karena telah melancarkan segala urusan revisi paska sidang skripsi. Bersyukur karena Tuhan memberi kekuatan pada pikiran dan badan untuk menyelesaikan semua ini. Aku bahkan baru menyadari bahwa pengerjaan revisi jauh lebih menekan dibanding proses pengerjaan skripsi itu sendiri. Selama proses pengerjaan skripsi, kita hanya berhadapan dengan satu dosen pembimbing. Namun saat revisi, kita dihadapkan pada tiga penguji plus satu dosen pembimbing,  artinya kita berhadapan dengan empat dosen dengan bagian revisi masing-masing, semua ini musti rampung dalam waktu yang cukup singkat. Terlepas dari semua itu, bagaimanapun juga, hal tersebut sudah lewat. Selain mengucap syukur kepada Tuhan, aku juga ingin mengucap terimakasih kepada teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan doa. Lebih-lebih kepada keluarga, terimakasih telah menjadi sumber dari segala sumber semangat buat aku untuk menyelesaikan semua ini. Akhirnya, tibalah kini, saat menunggu wisuda, yang akan datang diakhir bulan Agustus nanti. Pesta perayaan yang menjadi simbol bahwa pendidikan sarjana yang telah aku mulai empat tahun lalu, telah sampai pada titik akhir.

Sekarang, inilah aku. Tidak mau menyebut diri pada kondisi terjebak, alih-alih mencari pembelaan untuk mewajarkan apa yang saat ini dihadapi. Aku tengah berdiri menatap sepi, tidak dapat melangkah kemanapun karena sekitar kulihat sana-sini adalah putih. Andai saja, ada jalan setapak yang disediakan disana, aku akan melangkah, kemanapun jalan tersebut menuju. Lama aku merenung dalam segala putih yang ada, sambil berpikir dan bertanya ‘apakah aku musti menunggu munculnya jalan setapak?’ begitu gobloknya aku bahkan bertanya pada yang jawabanya seperti keajaiban. Aku makin terlena antara menunggu pertanyaan terjawab atau menunggu jalan setapak yang aku kamu atau siapapun takkan pernah tahu benar- tidaknya akan muncul.

Ampun, aku mohon ampun. Karena bukan hanya aku temui diri berdiri termenung menatap putih sana sini, tapi kamu, mereka dan banyak kulihat dari bayang yang dipantulkan langit, juga berdiri layaknya aku seperti ini. kecuali amat sedikit. Itupun aku tak tahu, mereka berjalan berpura seolah ada jalan atau memang tersedia jalan. Kalaupun memang tersedia, apakah mereka menunggu dengan ajaib muncul jalan  dari bawah putih tempat dipijak, atau mereka membuat sendiri. Ampun. Aku mohon ampun. Aku mungkin terjebak, tapi aku tak mau mengaku. Karena aku tahu, yang wajar adalah yang banyak. Aku adalah bagian dari yang banyak. Yang  berdiri menatap sepi, pada segala putih sana sini.

Narasi ini aku tulis, tidak lain sebagai bentuk ejawantah refleksi yang aku dapat selama berada dalam masa menunggu wisuda. Iya menunggu wisuda. Seharusnya aku senang, didatangkan pada kesempatan untuk mempersiapkan perayaan rasa syukur kepada Tuhan dan semestanya. Seharusnya senang karena memahami bahwa apa yang telah dimulai, pada akhirnya memiliki batas waktu yang disebut selesai. Tapi entah bagaimana, realita memaksaku untuk tidak jauh berpikir kesana. Aku disibukan dengan pikiran dan kekhawatiran akan pertanyaan ‘kemudian akan kemana?’, pertanyaan yang memang telah ku geluti bahkan satu tahun lalu. Bodohnya, aku masih terhenti dan buntu mencari jawab hingga di titik ini.

Ditengah kebuntuan yang melanda, tentu aku berterimakasih kepada Tuhan, aku diajak untuk memahami secuil dari kompleksitas hidup. Dengan cara-Nya yang amat epik, aku dikirimkan sebuah penggalan video yang menampilkan Sujiwo Tejo mengujar ‘kita ini ribut sana-ribut sini menunjuk orang menistakan agama, penistaan yang jika dibiarkan adalah bentuk penghinaan terhadap tuhan karena tidak membela agama-Nya. Tuhan tidak butuh dibela karena sifatnya yang Esa, kita ini siapa? Berani-berani bilang membela Tuhan’ (sabar ya, ini belum masuk poin inti, pernyataan beliau setelah ini yang menampar pipi hingga merah kemudian biru)

‘kita takut bahwa besok tidak makan, itu sudah menghina Tuhan’

‘kita takut bahwa besok tidak punya uang, itu sudah menghina Tuhan’

Kemudian, semua pikiran dan kekhwatiran musnah secara tiba-tiba. Pertanyaan tentang ‘kemudian akan kemana?’ tidak lagi menjadi bagian dari  hantu yang terus membisiki telinga kanan kiriku, untuk terus merasa gelisah. Aku senang dapat mengusirnya bahkan hanya dengan hempasan napas dan pejaman mata lalu bergumam ‘terimakasih’; kemudian secara serentak semua bagian tubuh menjadi amat setuju pada otak dan hati untuk lebih menyayangi diri, mensyukuri hidup, dan bersujud kepada Tuhan.

Lalu?

Saat ini aku memilih untuk pulang menemui keluarga. Tempat terbaik untuk kembali. Bersama orang-orang yang paling dicintai. Aku masih menuggu, masih berpikir keras mencari berbagai alternatif kemudian menyusun strategi agar tetap hidup ditengah belantara hutan labirin yang membingungkan.

 

 

Ditulis di teras rumah, menjelang Ashar.

Leave a comment

Website Built with WordPress.com.

Up ↑