#Review – Opera Jakarta, Titi Nginung


Cover Titi Nginung

Sekilas membaca judul, tertulis dua kata yang konon membuat isi kepala berputar sekaligus merangkak dalam mengira-ngira. “Opera” dan “Jakarta”. Mendengar opera, bagi Saya yang jarang pergi larut malam tak jauh dari pikir-pikir tentang ‘drama’ ‘pertunjukan aneh nan seleweng’ ‘kisah yang dipentaskan diiringi dengan musik’. Baiklah, takut-takut pikiran tambah melayang mencari makna ‘Opera’ ujung-ujung  bakal dibilang ndableg karena banyak salah. Lebih aman Saya kasih definisi terpercaya dan tervalidasi oleh lembaga kebahasaan di negeri tercinta ini; dikatakan bahwa Opera merupakan “Bentuk drama panggung yang seluruhnya atau sebagian dinyanyikan dengan iringan orkes atau musik instrumental”.

Senangnya, tebakan pikiran saya dalam menerka makna opera ternyata dibetulkan oleh KBBI, Suer! Saya tidak begitu menyangka jika hasil terkaan ini sedikit-tidaknya benar. Selanjutnya “Jakarta”; sebuah kota metropolitan. Kota yang saat ini menjadi bayang-bayang bagi setiap insan Indonesia dalam mendamba kekayaan, kemakmuran dan kekuasaan. Tidak heran jika setiap tahunya angka kepadatan penduduk di Jakarta makin banyak, setiap tahun, setiap tambah umur orang-orang pinggir pulau berbondong-bondong pergi dan menaruh target pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib. Barangkali dibarengi dengan mimpi dan angan tentang kemewahan dan kesahajaan hidup.

Dua kata paling unik dengan dinamika terka pikir diatas terus berputar-putar dalam otak, yang tentu tidak lagi membuat saya ragu untuk mencomot buku ini dari rak perpustakaan kampus; sembari jari meraba bentuk buku, muncul bayangan tanya “Apa yang terjadi di Jakarta dalam buku ini?”, “Sebuah Opera yang bagaimanakah akan terjadi?”. Bayang-bayang pertanyaan semakin diperkuat dengan rentet pertanyaan dalam secuil tulisan dibelakang buku yang kurang lebih berbunyi “Apakah seorang akan jatuh cinta dengan orang yang sama dalam dimensi waktu yang berbeda?; rasanya belum cukup pertanyaan dalam pikir dijawab dengan pertanyaan balik di belakang sampul. karenanya, pilihan terbaik untuk menjawab semua pertanyaan dalam pikir adalah membaca keseluruhan kisah.

Untuk lebih jelas mengantarkan kamu wahai pembaca dalam memahami maksud dari judul “Opera Jakarta” oleh Titi Nginung ini; kebingungan yang juga saya alami (sayangnya, saat ini sudah tidak berlaku bagi Saya, tentu karena Saya telah membaca seluruh kisah). Harap tetap tenang, jangan panik; bagaimanapun Saya orang baik, akan tetap membagikan kisah ini (mungkin tidak secara mendetail) (( ya iyalah, kalau mau detil, mending baca sendiri itu novel)). Haduh maap, Saya jadi merasa begitu banyak bacot dalam menulis; langsung saja kali ya. Berikut tulisan bergaris miring merupakan cerita versi Saya mengenai Opera Jakarta.

Al kisah, dalam suatu proses rencana pernikahan yang akan berlangsung; calon pengantin wanita kabur dari rumah. (saya tidak akan menulis banyak tokoh disini, takutnya membuat ulasan singkat kisah akan lebih sulit dipahami, tokoh yang tersebut dalam ulasan ini, berarti tokoh yang cukup secara signifikan berperan dalam terbangunya kisah- mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat pada tokoh-tokoh lain dalam novel, punten). Kaburnya pengantin ini tentu membuat semua pihak kalang kabut pusing bukan main. si ibu dan adik, sepandai-pandai menyembunyikan hal ini; tetap tidak akan bisa. Ayah akan tetap tahu seiring detik kian berdetak membunuh waktu. Calon pengantin perempuan yang kabur ini bernama Rum (wkwkkw Gmana? Dibagian awal saja sudah mulai menunjukan suatu opera bukan?)

Rum kabur ke pengadilan atas proses sidang pidana yang tengah dijalani oleh kekasih tercinta-sejatinya (sayang, dia tidak akan melangsungkan pernikahan denganya, melainkan laki-laki pilihan ayah Rum). Tuduhan yang terjadi pada kekasihnya ini (namanya Joko) adalah tindakan penculikan dan pemerkosaan secara beramai-ramai kepada seorang gadis. Dengan segala prosesnya, Joko dinyatakan tidak bersalah. Semua ini adalah bentuk rekayasa dari oknum yang ingin menghancurkan nama baik seorang Joko. Usai sidang, Rum dan Joko berpagut dalam peluk rindu tak tertahankan, konon mereka tidak bertemu sejak dua bulan terakhir lamanya,

Joko diceritakan sebagai petinju, dibesarkan oleh kasih sayang nenek di sebuah desa bernama Bekonang di belahan Solo. Diduga (meski dalam novel berbelit-belit apakah benar atau tidaknya) Joko adalah Klinem yang hamil atas tindakan paman Rum, lantar istrinya belum jua memberi keturunan. Klinem perempuan lugu nan baik hati, tidak mau merusak keluarga paman Rum, meninggalkan rumah dalam kondisi hamil, dan anaknya (diduga adalah Joko) diserahkan ke ibu, ditinggal untuk mencari jodoh di desa seberang. Intinya, Joko dibesarkan oleh neneknya, Klinem sebagai ibu kandung meninggalkan Joko tepat setelah melahirkanya.

Joko tidak menikah dengan Rum. Rum tidak  menikah dengan Joko. Joko pergi entah kemana setelah pertandingan tinju dengan lawan kelas kakap profesional – yang kemudian lawanya cacat diseluruh bagian tubuhnya. Joko dikenal sebagai binatang dan tak punya adab dalam ring. Tidak ada lagi seorang mau menjadi produsernya. Seiring berjalan waktu, dunia lupa siapa Joko. Meski begitu, cinta tetaplah cinta, Rum tidak menikah denganya (melainkan menikah dengan Demas, rekan sekantor yang selama ini mencitai Rum, bahkan sangat mencintai). Meski dalam ikatan sakral dan suci  Rum adalah istri Demas. Hati dan cinta tetap terselip untuk Joko”

Begitulah cerita kisahnya, yang menurut saya sangat menggambarkan sebuah Opera dengan Jakarta sebagai latar kisah. Secara keseluruhan saya sangat terhibur, terutama jika ada bagian-bagian yang menunjukan romantisme Joko dan Rum. Sebagai seorang laki-laki, terlalu gamblang dalam hubungan belum menikah selalu berucap “Kapan aku bisa menidurimu?” Seraya memainkan tangan dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain; Rum sedikit marah pun sedikit merasa asik, tetapi tetap saja, sebagai pembaca paling asik pada bagian-bagian syur macam gini kwkkwkw becanda. Saya yakin gak semua pembaca, kalaupun ini hanya terjadi pada Saya, tak apa-apa juga, Saya ikhlas. Asal jangan dibilang mesum wkwkwk.

Tidak hanya itu, Saya juga merasa menikmati penggunaan bahasa yang digunakan Titi Nginung dalam mengutaran kisa Opera Jakarta ini. meski kadang beberapa kali saya merasa terdapat bagian-bagian klise dan aneh macam tindakan (saya lupa nama) pokoknya dia berusaha mendatangi gereja untuk membatalkan pernikahan Rum melalui mengancam pastur; yang dengan seketika pergi hanya dengan ucapan Rum dalam telepon “kalau kamu mencintaiku, pergi dari tempat itu”. Baiklah, ini tentang alur cerita, bukan penggunaan tata bahasa; tapi entah bagaimana bagian ini mengurangai rasa senang saya terhadap penggunaan bahasa. Rasanya sayang, coba saja kalau terdapat alternatif adegan lain bukan hanya tiba-tiba hilang hanya karena panggilan telepon.

Rating saya : 3/5

 

Leave a comment

Website Built with WordPress.com.

Up ↑