Setelah beberapa waktu lalu Aku menulis review tentang Enrico (yang merupakan seri ke 2 dari trilogi Parasit Lajang-nya Ayu Utami); kali ini, Aku akan mereview seri ke-3nya! judul bukunya “Pengakuan Eks Parasit Lajang”. Dalam buku ini diceritakan secara gamblang keseluruhan kehidupan wanita A; penulis sebagai sudut pandang ketiga. Wanita yang tidak mau menikah karena kungkungan yang dibangun masyarakat patriarki. Wanita yang meski tidak menikah tetap tidak menjadikan keperawanan dan selangkanganya sebagai selaput berharga yang dinilai untuk barang tawar kesucian perempuan. Wanita yang melepas diri sebagai makhluk yang tidak beragama; karena agama dia pandang sebagai pengekangan; apalagi kalau bukan menjunjung laki-laki sebagai segala-gala?.
A lahir dari pasangan ibu dan ayah. A memandang ibunya sebagai sosok malaikat dan bidadari karena kelembutan sikap dan tabiat. Sedang ayah, dipandang sebagai monster, lebih-lebih karena dia laki-laki yang merasa harus dipenuhi segala perintahnya. Ciri manusia pemuja patriarki. A dengan segala kontemplasi dan renunganya dalam hidup, tumbuh menjadi wanita berprinsip. Wanita yang tidak mau prinsipnya dibelokan sedikitpun. Dia akan mengikuti segala keinginan masyarakat, tapi tidak bagi keinginan masyarakat yang merusak prinsipnya. Keinginan yang kerap kali dia sebut terjadi karena kesalahan ontologis.
Sebagaimana masyarakat berkata bahwa “perempuan dianggap suci jika menjaga selaput darahnya tetap rapat sampai malam pertama pernikahanya”; sebagaimana masyarakat juga mengagungkan laki-laki sebagai orang dan kaum tinggi dibanding perempuan; laki-laki menjadi kepada keluarga, laki-laki pemegang keputusan bahkan ketika cerai sekalipun, bisa apalah wanita? Hak waris, hak asuh, hak tanah dan hak-hak lainya; laki-laki adalah utama. Perempuan adalah makhluk kedua. Dan paling akhir, perempuan yang tidak menikah kerap kali disiul perawan tua; perawan yang selaputnya mulai dipenuhi jamur dimakan umur. Semua ini mulai menjadikan A melawan; karena hal-hal ini tiba saja menghancurkan satu persatu prinsip hidupnya, apalagi sebagai wanita.
Diumur dua puluh tahun; tepat disaat dia memutuskan untuk tidak menikah. Apalagi menikah karena masyarakat yang mau. Ada satu hal yang ingin A lawan, bahwa “wanita harus menjaga selaput darah agar dibilang suci”. Siapalah kalian-kalian, siapapun tidak berhak mengatur selaput darahnya, kecuali dia sendiri. Maka diumur dua puluh tahun itu, umur yang dia pikir sudah matang dan cukup untuk membuka selaput darahnya. Dia memilih Nik, mahasiswa UI yang ditemuinya saat ospek. Mahasiswa yang digambarkan memiliki perawakan tegap, bermuka manis (apalagi jika terdapat tetesan air bekas wudhu), fakultas teknik.
Nik adalah laki-laki pertama yang membuka selaput darah dalam rongga selangkanganya. Kenikmatan yang dihasilkan memunculkan gairah setelah-setelahnya. Rekor terbanyak adalah enam belas kali bercinta dalam sehari. A merasa menang; dia tidak menikah, tidak perawan dan masyarakat tidak pula bisa mengatur prinsipnya. Setahun dua tahun, A menjadi wanita simpanan bos tempatnya bekerja sebagai wartawan. A merasa bersalah karena telah menghianati Nik. Nik pun marah, namun memaafkan. Lambat laun, Nik meminta A untuk menikah; tapi A tidak mau. Itu tidak sesuai dengan prinsip hidupnya. Kemudian Nik menikah dengan wanita lain; setelah sekian tahun berhubungan dengan A. Tapi itu tidak apa buat si A, Nik memiliki prinsipnya sendiri.
A bertemu dengan Rik (ini lah yang dimaksud Enrico; secara detil ditulis dibuku ke2nya). Rik laki-laki bebas; laki-laki yang juga tidak mau menikah karena dia hidup dalam bayang-bayang hasrat kebebasan. Menikah membuatnya terikat akan sesuatu dan tidak akan membuatnya bebas layak burung mengepak sayap di jagad raya. A merasa, laki-laki seperti Rik lah yang selama ini dia cari. Sangat langka. Mereka bertemu justru ketika A meminta pertolongan Rik untuk memotret tubuh A telanjang penuh. Bukan untuk sumbar kecantikan dan sensualitas, melainkan sumbar kemurnian dan alamiah wanita.
A dan Rik dipertemukan. Mereka menikah secara agama. Tapi tidak secara negara yang A pikir akan mengekang. A tidak menemukan kesalahan ontologis dalam menikah secara agama. Tidak ada kepala keluarga. Kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan. Belum lagi kebebasan adalah milik A dan Rik. Bukan milik A, juka bukan milik Rik. Karena keduanya saling mendamba kebebasan yang sama.
Leave a Reply