Seperti apa yang mungkin selalu aku katakan mengenai karya Pramodya Ananta Toer. Sulit untuk memberikan pendapat selain kata “luar biasa”. Tulisanya mampu membuat siapapun pembaca seolah sedang menonton adegan dalam biskop lebih dari empat dimensi. Begitu nyata tanpa bohong apalagi canda. Secara jujur, Saya membaca “Larasati” ikut tersayat-sayat akan betapa “Merdeka” adalah tentang hidup dan mati. Darah bertumpah dan peluru bersemburat juga dendam dalam kesumat. “jika kau berperang, kalah dan menang adalah hal yang akan selalu berganti sili, saat ini kau menang, maka tunggu lainya waktu kau akan kalah” pemimpin pemuda berkata pada Larasati dalam gencat senjata; mereka menyebut diri sebagai pejuang revolusi.
Novel ini tentang Larasati. Perempuan tiga puluh tahun yang takut tua dalam lima tahun kedepan; elok dalam berpengarai, montok tubuh yang denganya gampang pula memikat mata laki hidung belang. Digambar sebagai artist, pemain lakon dalam film dan penyanyi dalam berbagai panggung. Mungkin, jika boleh ku tidak bersopan; perempuan lacur juga dia disebut. Meski begitu, dia menampik dengan selalu bergumam dalam hati “biarlah semua orang injak harga diriku, tapi tidak pada sikap dan hati revolusiku”. Penggambaran kisah perjuangan revolusi dalam buku ini, digambar secara jelas dalam sudut pandang Larasati si perempuan seni.
Saat itu, Larasati di Yogya untuk manggung dan bermain film, namun rasanya, dia kangen dengan ibunya yang ditinggalkan di Jakarta. Satu tahun di Yogya, kembalilah Larasati ke Jakarta untuk bertemu ibunya. Sayang, Jakarta tempat perang dan tumpahan darah sana-sini, pulangnya Larasati ke Jakarta membuatnya kembali miskin. Dicuragi sana-sini sebagai mata-mata. Diakhir, dia harus hidup secara paksa untuk memenuhi hasrat birahi orang Arab. Jusman namanya. Hingga revolusi menang; barulah Larasati lepas dari siksa cinta buta si Arab.
Membaca novel ini, terutama tepat disaat aku hidup di Indonesia yang merdeka. Hidup disaat tidak lagi mendengar deru getar serta ledak bom dalam jarak sejangkal. Hidup tanpa takut mati, tiap detik selalu datang ancam mati peluru penjajah. Hidup tanpa perlu terjaga sepanjang waktu; takut-takut bom meledak dibelakang rumah. Hidup tanpa perlu pegang pestol siap-siap tembak jika penjajah mengancam. Membuat aku merasa malu. malu karena rasanya terlalu banyak hutang pada orang-orang terdahulu. Malu karena sering-sering aku mengeluh bahkan hanya tika tak punya air untuk mandi, tak punya kasur untuk tidur, tak punya uang untuk jajan. Malu. Malu.
Aku tahu, mungkin saat ini, setiap kali Indonesia peringati hari kemerdekaan, kutemukan banyak orang berpendapat “Indonesia belum merdeka, karena secara ideologi masih terjajah, karena secara ekonomi masih miskin, karena agama-agama saling perang, karena konflik antar entis, karena ibu-ibu maling sandal dipenjara; tapi koruptor maling, makan minum layak di restoran, karena ini, karena itu, karena…” pendapat yang bahkan dilontar tanpa paham konteks dan jalan. Seolah-olah kepuasan dan kemerdekaan adalah tentang kesempurnaan; seolah-olah kesempurnaan adalah bukan suatu hal yang utopia.
Kau tahu apa merdeka itu? Aku pun tak tahu apa merdeka. Tapi kau pasti tahu bahwa Indonesia bukan tempat kau dapat memeras puas. Jika kau tau masih ada kemuan atas kondisi saat ini yang belum kau dapati sesuai dengan harapan dan idealisme kau. Ada baik membuat perubahan dengan lakukan sejengkal dua jengkal langkah. Bila perlu peluru tak segan masuk dalam tubuh kalau-kalau kau berani. bila perlu kau rasakan ledak bom, tidak tidur dan sulit makan. Agar sekali-kali jika ada perubahan yang kau mau; kau rasa puas. Puas juga kadang membawa rasa merdeka. Eh bukan hanya kau, aku juga.
Leave a Reply