Jailangkung; Datang Gendong, Pulang Bopong


jailang

Tulisan kali ini saya ingin sedikit memberikan opini mengenai sebuah film bergenre horror produksi Indonesia. Tepat hari lebaran minggu ini, saya bersama empat teman berencana untuk  menontot film “Jailangkung”; saya pribadi dari awal tidak terlalu menaruh minat dengan film ini, namun nampaknya salah satu teman saya sangat penasaran, alhasil saya beserta teman lain mengiktuti kemaunya untuk menuntaskan rasa penasaranya.

Sebagai penikmat film (semoga suatu saat bisa menjadi pencipta) tentu saja selalu mengharapkan suatu kejutan-kejutan dari kisah yang ditampilkan, baik dari sisi alur cerita yang tidak bisa ditebak, sampai dengan alur yang rasa-rasanya mudah ditebak tapi dibelakang malah salah menebak hahaha, bagaimanapun itulah sebenarnya yang kusebut sebagai kejutan dalam suatu cerita. Namun, jika bolehlah saya jujur, tidak satupun kejutan yang didapat dari film ini, kisah yang disajikan sangat mudah ditebak, wkwk ada sih kejutan, yaitu suara bledak-bledak yang disertai dengan datangnnya penampakan setan secara tiba-tiba (suatu strategi klasik semua film horor untuk memainkan emosi penonton).

Film ini dirilis pada 25 juni 2017 yang disutradarai oleh Jose Peornomo  dan Rizal Mantovani; dibintangi oleh Amanda Rawis dan Jefri Nichol. Kisahnya dibuka dengan suatu kondisi koma yang menimpa seorang ayah; yang kemudian diketahui bahwa kondisi koma yang menimpanya merupakan hasil dari praktik  permainan jailangkung dia untuk memanggil dan berkomunikasi dengan istrinya yang meninggal. Ayah ini memilki 3 orang anak perempuan (Angel sebagai anak pertama (27 tahun), Bella sebagai anak kedua (20 tahun) dan Tasya sebagai anak ketiga (7tahun); dibantu dengan seorang mahasiswa (entah dengan keabsurd-anya ditemukan dalam satu presentasi ilmiah tentang dunia paranormal di suatu kampus, kemudian diajak Bella untuk membantu menemukan alasan dibalik koma yang menimpa ayahnya).

Jailangkung Jailangse, disini ada pesta kecil-kecilan, datang gendong, pulang bopong”, baiklah pembaca, pahami baik-baik mantra ini, karena mantra ini adalah satu-satunya kalimat yang paling menggambarkan seluruh alur cerita. Kondisi koma menimpa ayah adalah karena tidak membopong setan yang terpanggil dalam satu permainan jailangkungnya.  Sudah. Kemudian kisah ditutup dengan adegan pembopongan setan. Kisah selesai.

Tidak hanya itu, saya sendiri memiliki beberapa poin penting yang menjadi suatu kecamuk dalam pikiran karena kekurang ‘sreg’  yang dialami selama menonton film ini; adapun poin-poinya sebagai berikut:

  1. Bisa pembaca bayangkan dalam suatu adegan menuju rumah tempat dilakukan ritual pemanggilan arwah melalui jailangkung; hujan sangat lebat, Rama (mahasiswa yang membantu keluarga ini dalam misi jailangkung) menggendong Tasya. Kemudian dia berucap “om, tasya kedinginnan, kayaknya perlu istirahat dulu”, “oh baiklah, kita istirahat disitu” jawab ayah. Tempat yang justu menambah kemenggigilan Tasya karena hujan masih lebat. Dan tiba-tiba dateng setan melempar ayah (ketauan sekali adanya adegan ini hanya untuk nambah-nambah durasi);
  2. ketidakmasuk-akalan terjadi lagi ketika tiba-tiba ayah digambarkan tersesat (padahal diawal dia adalah orang paling tahu tentang daerah itu); kemudian Rama dan Bella setelah urusan membopong setan selesai dalam ritual jailangkung; keluar dari rumah untuk mencari ayah yang tersesat. Tiba-tiba memisahkan diri dan disaat yang sama mereka saling panggil mencari satu sama lain “Rama… kamu dimana?”; “Bella… kamu dimana?” (kemudian pindah scene yang menampilkan seorang ayah sudah di rumah tempat ritual permainan jailangkung dilakukan); lagi-lagi pembuat kisah seolah kehabisan ide untuk menciptakan suatu adegan yang masuk akal dan dapat diterima.
  3. Poin ini secara khusus ditujukan untuk pemeran Tasya (anak berumur 7 tahun); mungkin sebagai sutradara akan menjastifikasi bahwa hal  wajar jika seorang anak perempuan mengucap “ka… aku capek” dalam adegan dia duduk diatas kasur, serta ucapan “ka, ini dimana?” adegan ketika berada dihutan. Namun, tetap saja sebagai penonton, hal ini saya pandang terlalu klise, karena kesan yang tampak adalah “suatu yang dipaksakan”; adanya adegan ini seolah-seolah ditujukan untuk mewajarkan suatu kedatangan setan (ataupun adegan lain yang menyertai) secara alami, namun justru yang terlihat sebaliknya, terkesan dipaksakan dan kurang genuine, sehingga menghilangkang citra dan rasa kesempurnaan suatu film.

Meskipun begitu, ada pengetahuan baru yang mungkin dapat dipertimbangkan pembaca, terutama pada mereka yang percaya hal gaib. Manusia dapat melakukan urusan dengan dunia gaib juga berinteraksi dengan makhluk-makhluk yang hidup didalamnya. Interaksi dilakukan dengan suatu media; media dapat berupa manusia (sering disebut sebagai kerasukan, ketempelan) ataupun dengan benda-benda keramat (dalam film ini, jailangkung adalah contohnya). Selalu ada resiko dibalik segala tindakan, begitupun jika manusia memilih untuk melakukan interaksi dengan dunia gaib, mempertimbangkan segala resiko yang mungkin akan dihadapi adalah suatu keharusan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Built with WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: