Jika boleh jujur, penuturan kisah dalam bacaan ini cukup berbeda dibanding penuturan kisah pada umunya novel. ini tidak bicara tentang kisah orang, ataupun kelompok tertentu yang biasanya spesial sebagai sudut pandang, tetapi tentang suatu fenomena, dalam lingkup besar. dimungkinkan sebagai kritiknya atas sifat dasar manusia; bertahan hidup.
Diawali dengan ketiba-tibaan, seorang menjadi buta dalam hiruk pikuk jalan raya, dalam pandangnya semua seputih susu. kebutaan ini adalah wabah endemik, yang cepat lambatnya seisi dunia menjadi buta. kondisi ini justru membawa sebuah mekanisme baru tentang gambaran semesta, tidak ada pemerintahan, seorang buta memimpin buta-buta lainya adalah suatu ketololan.
Setiap orang pada akhirnya menemukan kebusukan bangkai makhluk yang kalah bertahan; tak ada makanan saat semua merasa lapar. mengisi perut yang lapar adalah cara manusia merasa perlu bertahan untuk hidup; tak peduli bagaimana cara, moral dan nilai baik buruk semua dilupakan karena kebutaan. buta menyebabkan kematian; bisa juga kematian merupakan kebutaan itu sendiri.
Kisah ditutup dengan ketiba-tibaan juga, dalam 2 lembar terakhir, satu persatu setiap orang teriak dengan begitu senangnya “aku bisa melihat!”; tak ada lagi putih susu dalam pandangnya. biarlah kebutaan mampir untuk mengajarkan manusia. kemudian pergi.
Leave a Reply