Diawali denga lahirnya manusia di dunia, yang hanya mempunyai beberapa naluri bagi keberlangsungan hidupnya. Namun disisi lain, ia memilliki suatu perkembangan dan adanya batin, kemudian, memungkinkan setiap dari manusia menyerap pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan sekitar. Sebuah laporan mengatakan bahwa, manusia secara biologis belum rampung, kondisi dimana manusia tidak pernah menjadi dewasa karena keberadaanya merupakan proses pencapaian dan belajar tanpa akhir.
Kesatuan, serta pemahaman tentang kekompleksan dan kreativitas manusia akan lebih jelas ketika manusia memperhatikan tiga aspek berikut:
- Keterbatasanya , macam-macam batasan ini meliputi, terbatasnya ruang fisik, waktu dan singkatnya kehidupan. Juga setiap orang dibatasi oleh wataknya dan kemungkinan-kemungkinan konkrit untuk belajar sesuatu. Hal ini digambarkan pada tidak adanya manusia yang menguasai segalanya, untuk menjadi ahli satu bidang, dia harus mengorbankan bidang lain. Keterbatasan ini menjadi dasar ontologis bagi keutamaan kerendahan hati;
- Kebaruannya, mengungkapkan bahwa menusia itu unik, setiap individu memiliki kepribadian masing-masing yang tidak mungkin sama dengan individu lainya. Karena keunikan tersebut, saling berpadu dengan serasi.
- Dimensi sosial, bahwa manusia adalah makhluk komunikasi dan persekutuan, hal ini terjadi dalam hubungan cinta kasih, persahabatan, pekerjaan, kesenggangan, pendidikan.
Dalam mengatakan manusia sebagai makhluk kodrati berbudaya, dapat kita lihat bagaimana manusia didefinisikan memiliki roh yang memiiliki peran sebagai :
- Menguras dan meningkatkan setinggi-tingginya daya indera dan naluri, daya tumbuh-tumbuhan dan mater
- Lewat roh, manusia dapat mengungkapkan hal hal “illah”
- Lewat roh, manusia masuk ke kehidupan relasional dan sosial.
Manusia terlahir dengan roh berbadan memiliki tiga kutub, yakni kutub noetis yang mengungkapkan diri dalam intelegensi, dan kutub afektif dan kutub efektif yang mengugkapkan kehendak bebas manusia. Perpaduan antara ketiga kutub inilah kemudian mengantarkan manusia menjadi manusia berbudaya. Dimana kebudayaan merupakan perkembangan khas manusiawi yang berasal dari penggunaan inetelgensi dan kebebasan, dan yang justru memungkinkan manusia menjadi benar-benar manusia. Pembedaanya dengan kondrat adalah, dimana kondrat berarti apa yang diberikan pada kelahiran dan yang mengalir dengan sendirinya dari itu, sedangkan kebudayaan apa yang di hasilkan dari usaha “pengkolaborasian” antara kutub noetis dengan afektif dan efektif.
Dalam kata lain, kebudayaan merupakan karya roh dan kebebasan yang menyumbangkan usaha kepada usaha kodrati. Maka pertumbuhan pribadi menunut adanya keserasian antara kebudayaan dan kodrat pada setiap manusia. Dalam memahami hal ini, akan terdapat tiga kemungkinan respon manusia:
- Penolakan terhadap kodrat manusiawi, (seperti yang dicontohkan Faust; penolakan untuk menjadi tua dan kemudian mati, keinginan akan kemudaan yang kekal)
- Menerima kodrat manusiawi dengan lugas dan begitu saja (menggambarkan manusia yang sama seperti binatang, yang tidak memiliki perkembangan dan kebudayaan)
- Penerimaan dinamis terhadap kodrat dengan maksud untuk mengatasinya secara budaya ( kenyataan inilah yang cocok untuk dapat diambil, yang menunjukan manusia sebagai makhluk berkhodrat dan makshluk berbudaya.
Inteligensi manusia serta kehendak bebas adalah pertama-tama pemberian kodrat, keduanya adalah ungkapan dinamis berkutub ganda dari kodrat kita yang khas dan hanya dapat melaksanakan kegiatanya bila terkandung dalam kodrat genetis manusia. Dimana intelegensi menggandaikan indera, imajinasi dan ingatan; sedang kerja kehendak menggandaikan pelbagai selera inderawi. Menolak kodrat manusia adalah menjadikan mustahilnya kebudayaan. Inilah dinamisme khas manusia, yang tidak akan mengungkapkan diri kecuali dalam pelbagai keuntunganya dengan dunia, dalam berbagai hubungan antarpribadi, yakni dalam masyarakat.
Kebudayaan harus didapatkan dan diraih olehh manusia yang berkembang, melalui proses perkembangan atas prinsip intelegensi dan kebebasan tiap pribadi; yang dimana terkandung dalam lingkungan sosial. Manusia memiliki kemampuan untuk mengerti yang tidak terbatas, agar manusia mampu mencapai kebebasan, ajang dimana manusia dapat menentukan dirinya sendiri, maka diperlukan disiplin dan suatu tradisi.
Suatu analisis tentang perwujudan budaya manusia, memungkinkan kita untuk menyarikan empat factor yang sama dengan factor-faktor pendidikan lestari, dimana budaya merupakan :
- Suatu proses yang terurai dalam waktu dan ruang
- Proses yang mengarah pada pengembangan seluruh potensi pribadi manusia yang konkret
- Proses yang dipandu oleh pencarian koherensi dan keseimbangan
- Proses yang tidak ditentukan ; dijiwai oleh autodidaksi (pengajaran pada diri sendiri)
Dengan hal-hal diatas, dapat diuraikan bahwa :
- Masalah pertama adalah, suatu proses yang terbentang seluas dimensi-dimensi kehidupan sendir -à masa perwujudan budaya berlangsung seumur hidup.
- Kebudayaan harus membuka minat terhadap seluruh dimensi yang dapat dididik dalam kehidupan manusia à belajar menjadi ada, atas dasar keutuhan adanya manusia, proses budaya dimengerti sebagai suatu proses seorang manusia seutuhnya.
- Budaya, haruslah bermuara dari suatu prosesperkembangan manusiawi yang seimbang.
- Agar kebudayaan menjadi sungguh-sungguh suatu kebudayaan manusiawi, kebudayaan harus dijiwai dan ditentukan oleh autodidaksi, atau pendidikan sendiri.
REFERENSI
[1] Bynum, W.F., Brone, E.J. dan Porter, R., Dictionary of the History of Sience, Princeton University Press, Princeton, N.Y., 1981:lihat artikel culture, hlm 90-91
[2] Keesing, J., “Theories Culture”, daalm Annual Review off Antrpology, 3 (1974)
[3] Kroeben, A.L. & Kluckhohn, C., Culture: A Critical Review of Concept and Definnitions, Cambridge, 1952.
Sumber Gambar : hellopalembang.com
Leave a Reply