Berawal dari sebuah kata “terimakasih” yang disampaikan oleh seorang umat kepada Dhammariya (dalam film didiskripsikan sebagai Bikkhu) atas pelatihan meditasi yang diberikan. Langkah pamit untuk meninggal tempat itu telah menjadi awal dari cerita ini. Si umat tersebut telah lupa dalam membawa sesuatu. Yakni, ponselnya. Seorang bikhu bernama Dhammariya menemukan ponsel di kamar vihara. Keberadaan ponsel tersebut telah membawa bikkhu tenggelam dalam rasa rindu terhadap keluarga yang telah ditinggalkan untuk mendapatan statusnya sebagai sorang bikkhu Budha.
Film yang disutradarai Winaldo Artaraya ini telah membawa pemikiran segar yang baru mengenai konteks sosial yang terjadi pada petinggi agama (dalam hal ini budha). Seringkali kita terlalu me-nua-kan atau mengagumi dan percaya dengan apapun yang mereka katakan dalam ideologi agama kita tanpa melihat sisi lain kemanusiaan yang juga dimiliki oleh seoranng bikhu. Hal ini dia coba sampaikan melalui adegan Dhammariya yang tengah menelepon secara diam-diam kepada kelurarga yang dia tinggalkan tersebut.
Tayangan film berdurasi 24 menit 45 detik ini memberikan cukup pesan yang berarti dalam mendeskripsikan kehidupan SIAPAPUN dalam konteks sosial, yang sebenarnya tetap tidak bisa hilang akan sisi-sisi sifat dasar manusia itu sendiri. Pantas film ini menjabret prestasi sebagai Nominasi Film Pendek Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2010 di Batam pada 28 November. Dengan ini akan penulis paparkan cuplikan dari salah satu sumber pada berita.bragavant.com
“Pesan yang ingin kami sampaikan secara umum adalah bahwa seorang pemuka agama belum tentu seseorang yang telah tercerahkan. Kita tidak boleh mendewakan sosok, tapi kualitas, seperti apa yang pernah Buddha katakan sendiri,” demikian jelas Winaldo mengenai pesan yang ada di balik film pendek tersebut.
“Untuk mencapai pencerahan, setiap makhluk butuh proses, dan proses itu pastinya mengalami banyak hambatan yang tak mudah.”
Diatas merupakan cuplikan perkataan yang disampaikan oleh sutarada dalam menjelaskan tujuan/pesan dalam membuat fil berjudul angin ini.
Dipandang dari segi penataan kamera dan artistik penataan ruang, film ini telah berhasil memberikan ilustrasi rill dari sebuah setting seorang bikkhu. Hal ini tergambar jelas dengan pakaian yang dikenakan biksu, reliks patung Budha dalam suuatu ruangan remang dengan lilin sebagai penerangnya dan tempat villa yang menekankan penggunaan tembok kayu sehingga terkesan minimalis. Namun, hal ini sangat kontras dengan iringan musik sebagai pengantar dan berusaha untuk mendeskripsikan keadaan perasaan dalam tokoh di film, dipandang kurang relevan. Iringan musik terlalu datar dalam mengirisi situasi konflik batin yang sebenarnya sedang terjadi dalam suasana tersebut.
Kurang tepatnya dalam memilih alunan musik sebagai pengiring suasana film, telah diimbangkan dengan kemampuan sutradara dalam memainkan emosi penonton dengan menonjolkan alur cerita yang khas dan mudah dipamahami meskipn dengan pesat tersiratnya. Sebagai kesimpulan serta penutup atas berbagai paparan paragrap diatas. Penulis hanya ingin menyampaikan betapa sangat baiknya sutradara dan para pemainnya memoles cerita dengan apik dalam balutan ide kreatif mengenai pandangan penyadaran baru akan realitas sosial yang sekarang terjadi dalam masyarakat beragama.
REFERENSI
[1] http://berita.bhagavant.com
Sumber gambar : moedja.com
Leave a Reply